Secara bahasa niat berarti maksud dan tujuan. Kata niat juga diartikan sebagai ‘azm (kemauan keras). Penulis kitab Mishbahul Munir mengatakan: “Kata niat dartikan secara umum dengan kemauan hati untuk melakukan suatu perkara”. (Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Hal. 29)
Secara syar’i sebagaimana definisi yang diberikan Nawawi rahimahullah, niat berarti keinginan kepada sesuatu dan kemuan keras untuk melakukan sesuatu. Sebagian ulama menyamakan antara niat dengan ikhlas yaitu mengikhlaskan agama hanya kepada Allah Ta’ala. Karena maksud utama dari niat itu sendiri adalah ibadah kepada Allah.(Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Hal. 30)
Niat Adalah Amalan Hati dan Bukan Amalan Lisan
Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu’anhum bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan hal yang serupa, beliau berkata, “Tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang menukil baik dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam maupun salah seorang dari para sahabat radhiallahu’anhum bahwasanya dia mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul ihram, pen) dengan lafadz-lafadz niat baik dengan suara lirih maupun keras dan tidak pula memerintahkan hal ini.”(Majmu’ Fatawa 22/237, Maktabah Asy Syamilah)
Namun sebagian orang beranggapan dengan melafadzkan niat lebih memantapkan hati dan mampu menyempurnakan realisasi niat. Lantas jawaban apa untuk orang yang berkata semacam ini? Berikut ini sanggahan yang dinukil Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.
Kalau seandainya melafadzkan niat itu dianjurkan tentu Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah melakukannya sejak dahulu atau setidaknya beliau memerintahkan hal ini. Karena beliau shallallahu’alaihi wasallam telah menjelaskan semua perkara yang bisa mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabbnya, terlebih lagi perkara sholat yang tidak ada satupun tata cara yang diambil kecuali dari beliau shallallahu’alaihi wasallam. Sebagaimana hadits shahih, dimana beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
صلوا كما رأيتمونى أصلى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan dikeluarkan di Irawaul Ghalil No. 213)
Semua bentuk tambahan tata cara shalat Nabi serupa dengan tambahan yang ada pada ibadah-ibadah lain, seperti halnya orang yang menambahkan adzan dan iqamah pada sholat ‘Ied dan juga orang yang menambahkan sholat dua rakaat ketika sa’i.
Melafadzkan niat dapat merusak cara berpikir rasional. Sebagai contoh, ada seseorang yang berkata,
“Aku berniat untuk makan makanan ini agar bisa kenyang” atau “Aku berniat memakai pakaian ini untuk menutupi aurat” dan ucapan semisalnya. Tentu ucapan semacam ini termasuk ucapan yang dipandang buruk lisan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Katakanlah, Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang ketaatanmu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?” (Qs. AL-Hujurat: 16)
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah.” (Qs. Al-Insan: 9)
Sebagian salaf berkata tentang ayat ini, “Mereka (para sahabat) tidak mengucapkan (apa yang mereka niatkan) dengan lisan (ketika mereka memberi makan fakir miskin), akan tetapi Allah Ta’ala sendiri yang menceritakan apa yang ada dalam hati mereka dengan turunnya ayat ini.” (Majmu’ Fatwa 22/238,239, Maktabah asy Syamilah)
Hukum Mengucapkan “Nawaitu Shalat Dzuhr Arba’a Raka’at Adaan Lillah“
Al Lajnah ad Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut:
“Apa hukum mengucapkan niat seperti contohnya:
نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajahNya yang mulia.”
Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi shallahu’alihi wasallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi shalallahu’alihi wasallam yang menyatkan beliau mengucapkan niat shalat baik shalat sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini pastilah para shabat meriwayatkan dari beliau shallallahu’alaihi wasallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallahu’alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.” [1]
Beliau shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” [2]
Wabillahi attaufiq wa shallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)
Kisah Indah Penuh Hikmah
Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah berkisah: “Betapa eloknya cerita tentang seorang, sebagian orang telah bercerita kepadaku tentangnya, “Ada seseorang yang berada di masjidil haram telah lama ia ingin mendirikan shalat, ketika iqamah dikumandangkan iapun berkata,
اللهم إني نويت أن أصلي الظهر أربع ركعات لله تعالى ، خلف إمام المسجد الحرام
“Ya Allah, aku berniat akan menunaikan shalat dzuhur empat rakaat karena Mu dibelakang imam Masjidil Haram.”
Namun tatkala ia hendak mengangkat kedua tangannya untuk takbiratul ihram,ada orang yang berkata kepada si pengucap niat,
“Tunggu dulu masih ada yang tersisa!”
Pengucap niat menjawab,”Apa yang tersisa?”
Dia berkata, “Katakanlah (dalam ucapan niatmu) pada hari ini, pada tanggal ini, pada bulan ini, pada tahun ini sampai engkau tidak abaikan satupun ini dan itu”. Maka si pengucap niat terheran-heran. Pada hakekatnya pelajaran penting dari kisah ini adalah rasa heran si pengucap niat.
Penegur berkata, “Bukankah engkau tahu Allah Maha Mengetahui apa yang engkau maksudkan dalam hatimu?”
Pengucap niat menjawab, “Tentu Allah tahu apa yang terlintas dalam jiwamu”
“Tidakkah engkau tahu bahwa Allah maha mengetahui jumlah bilangan rakaat dan waktu-waktunya?” Si pengucap niat pun terdiam. Karena dia meyadari tentang hal ini bahwa niat itu tempatnya di hati.”(Majmu’ Fatwa Wa Rasail Ibni Utsaimin 12/366, Maktabah Asy Syamilah).
Diantara Kaidah yang Disepakati Ulama
Niat terletak di dalam hati dan bukan di lisan berlaku untuk semua ibadah tak terkecuali shalat. Jika seseorang mengucapkan niat di lisan namun berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya karena lupa maka niat yang dianggap adalah niat yang ada dalam hatinya. Sebaliknya jika seseorang mengucapkan niat di lisan akan tetapi tidak berniat dalam hatinya maka belum mencukupi, sehingga tidak sah shalatnya. Jika seseorang meniatkan shalatnya persis sebelum takbiratul ikhram maka hal ini sudah mencukupi bahkan inilah waktu utama untuk berniat tatkala shalat. Namun jika berniat setelah takbiratul ikhram maka niatnya tidak dianggap dan shalatnya tidak sah.(Shahih Fiqh Sunnah I/306,307).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar